Rabu, 22 Februari 2017

Sang Pemburu Jamban




Terlihat bulatan api menyembul dari balik pepohonan bambu, cahayanya mampu menembus kabut pagi di jalan setapak Dukuh Seliling. Makin lama, bulatan api itu kian menjilat pagi yang masih jelaga. Terdengar derap langkah yang memecah sunyi menuju gemericik air sungai Seliling. Derap langkah itu milik Minah, janda  tanpa anak yang lebih akrab disapa Nini Gabug oleh warga sekitar.

Sesekali terdengar suara nafas memburu bersahutan dengan bunyi blarak kering  yang terbakar di tangan kanannya. Blarak adalah daun kelapa kering yang biasa dibakar untuk obor. Usianya yang lewat setengah abad , membuat Nini Gabug terengah-engah saat menuruni bantaran sungai setinggi 12 meter itu. "Duh Jan..sudah kebelet, kok ya sepertinya sungai Seliling tambah Jauh jaraknya". Minah membatin sambil mempercepat langkah.

Seperti biasanya Nini Gabug selalu terbangun tak lama setelah Kyai Ahmad Khobari mengumandangkan Adzan Subuh di Masjid Dukuh Seliling. Bagi Minah Kalimat adzan Assholatu khairum Mina naum adalah suara panggilan langsung dari Tuhan meskipun melalui perantara mulut hambanya yaitu Kyai Ahmad. 

Maka  tak ada alasan bagi Minah untuk tidak bangun. Pagipun dimulai,  hal pertama yang selalu dilakukan Nini Minah adalah meraih sebuah ember plastik berwarna hitam di pojok dapur untuk diisi air bersih  di Belik Tejan dan menunaikan hajat pagi di Sungai Seliling. Belik Tejan dan Sungai Seliling adalah dua tempat maha penting bagi kelangsungan hidup warga Dukuh Seliling. Tanpa kedua tempat ini Seliling hanyalah sebuah semak belukar tanpa kehidupan.

Belik Tejan merupakan  sumur tua  yang berada di sebelah tenggara Sungai Seliling. Satu-satunya sumber mata air yang tidak pernah mengalami kekeringan  selama musim kemarau. Segala kegiatan warga yang berurusan dengan cuci mencuci dilakukan disana. Sementara Sungai Seliling adalah jamban sejuta umat dengan bau busuk yang mampu menusuk hidung bagi siapapun yang melintasinya.

Predikat jamban sejuta umat bukan tanpa alasan tentunya, jamban ini sangat ramai bak pasar kala pagi, dialog-dialog keluhan seputar keresahan warga terkait kenaikan harga beras, cabe, bawang dan minyak goreng dapat terjadi sewaktu-waktu bahkan hampir setiap hari bersamaan dengan keluarnya kotoran-kotoran badaniah yang mencemari Sungai Seliling itu. 

Bahkan  tak jarang  pula kicau sumpah serapah terlontar dari mulut-mulut sesama warga tanpa diduga sebelumnya, masalahnya masih sangat epik yaitu rebutan pengisingan atau kakus  berupa dua buah batu kali berukuran sedang yang ditata sejajar ditepi Sungai untuk jongkok membuang kotoran badaniah sewaktu pagi.
Seliling adalah sebuah dusun miskin di desa Tunjungmuli, terletak di tepi bukit, tempat pohon pinus tumbuh subur di belantara kota Perwira Purbalingga. Meskipun berada dibawah bukit, Seliling dikenal sebagai dusun dengan  sanitasi paling buruk di desa Tunjungmuli.

Hampir seluruh warga Dukuh Seliling tidak memiliki kamar mandi apalagi kakus meskipun rumahnya gedongan sekalipun, kecuali   rumah keluarga Sutimah Janda miskin yang ditinggal mati suaminya lima tahun lalu itu memiliki kamar mandi lengkap dengan kakusnya. Dipelopori sang anak yang sudah satu tahun merantau di Ibukota  mulai merasa risih mandi di alam terbuka  apabila pulang kampung, maka uang hasil kiriman anaknya itu dibuatkan kamar mandi dengan aliran air dari selang air yang diulur ke sumber mata air bersih nun jauh di puncak bukit Seliling.

Anak Sutimah kerap dinilai kehilangan rasa merdesa, padahal sewaktu belum mengenal Jakarta dia terbiasa mandi di Belik Tejan dan buang hajat berjamaah pula di Sungai Seliling.

Srek...Srek...terdengar langkah yang diseret pelan oleh pemiliknya, sampailah Minah di bibir belik Tejan dia merasa lega karena dibelik tak ada seorangpun selain dirinya. Bayangan akan Darman dan Rodiyah kedua pasangan pengantin baru yang tengah mandi junub kemarin pagi belum juga lenyap dari benaknya. Dia masih merasa jengkel tiada tara oleh sepasang pengantin baru itu, Minah menghabiskan waktu lebih dari setengah jam menunggu mereka. Beruntunglah Minah tak menemukan pasangan pengantin baru itu lagi. Maka tanpa banyak pikir Minah menepikan obornya dan  langsung mengisi ember dengan rantang yang tersedia di belik sebagai ciduk itu.

"Alhamdulillah, ndak ada penganten anyar" Gumamnya. Rantang demi rantang air mengisi embernya, segera Minah menepikan ember yang telah penuh.
Minah segera melesat meninggalkan belik untuk menunaikan hajat pagi yang sedari tadi membuat perutnya mulas itu, kali ini dia sudah tak kuasa menahannya lagi . Berjalanlah Minah ke Sungai Seliling bersama obor blarak yang  semakin meredup karena perlahan habis termakan api.

Kini Minah sudah berada di bibir sungai, aroma busuk merambat, menyusup masuk melalui lubang hidungnya. Minah tak peduli, sudah puluhan tahun ia mencium aroma yang sama, maka ia lekas mencari tempat nyaman untuk berhajat, baru saja mau berjongkok dirinya  dikagetkan oleh dua sosok yang tengah berhajat tepat dibelakangnya, tidak begitu jelas wajahnya karena pagi masih buta.

 "Aja Tongkrong  kiye ana enyong " ( Jangan dulu jongkok, ini ada saya) pinta seorang perempuan. "Iya sabar antre" sahut seorang lelaki. 

Rupanya suara itu adalah milik sepasang kakek dan nenek Muhrojim yang sedang buang hajat, mereka tampak asyik berdiam diri sedari tadi  seperti halnya tapa brata tanpa suara sehingga Minah tidak mengetahui keberadaan mereka. Maka tanpa permisi Nini Gabug segera beralih ke tempat lain.
Nini Gabug berjalan menuju Sungai Seliling bawah, disanalah dia akan menunaikan hajatnya. 

Sial tak bisa diprediksi, untung tak bisa ditebak, kali sial akrab dengan Nini Gabug manakala dia mendapati  Ki Sukeri tengah asyik masyuk berjongkok ria sambil menghisap  lintingan tembakaunya. Asap tembakau tampak mengepul dari bibir Ki Sukeri, keluar masuk menuju lubang hidungnya. Berak sambil merokok adalah kenikmatan tiada tanding bagi Ki Sukeri,  kenikmatan itu pula yang membuat dia  tak melihat kedatangan Minah yang berjalan di dekatnya.

 Nini Gabug memandang takjub ke arah Sukeri, pandangan penuh tanya bagaimana bisa Sukeri sangat menikmati rokoknya sementara bau busuk menusuk-nusuk hidungnya. Nini Gabug berfikir positif, mungkin Sukeri merokok supaya hidungnya tak mencium bau busuk tumpukan limbah  badaniah sejuta umat warga Dukuh Seliling selama kemarau panjang yang telah berlangsung hampir tiga bulan itu.

 "Waduh cilaka! perutku sudah tidak tahan lagi, bagaimana ini?" gumamnya.  keresahan Minah bukan saja karena dorongan ingin buang air besar melainkan pagi masih gelap sementara obornya nyaris padam, api memakan obor blarak Minah  teramat rakusnya.

Sebelum bergerak mencari pengisingan  lain dengan pertimbangan obornya yang nyaris habis  Minah memutuskan menunggu Sukeri selesai saja, Dia duduk di batu tepi sungai. Bau busuk pagi itu membuat Minah harus menutup hidungnya dengan tangan, lima sepuluh menit menunggu Sukeri tak juga beranjak dari pengisingan. Sukeri masih terlihat jongkok santai dengan kepulan asap tembakau membumbung tinggi
Minah mulai resah, dipegangnya perutnya kuat-kuat. 

Minah memaksa diri untuk bersabar lagi, sementara kaki dan tangannya mulai terasa gatal-gatal akibat gigitan nyamuk kali. Minah memutuskan untuk mencari pengisingan lain. Minah tidak menyadari bahwa kini  obornya benar-benar padam, tetapi karena dorongan kuat ingin buang air besar maka ia memaksa diri  berjalan terseok-seok meninggalkan Ki Sukeri. Derap langkah kaki tuanya yang dibalut sandal jepit itu beradu dengan bebatuan kali, meimbulkan suara teplak teplek iramanya sangat teratur, baru dua tiga langkah meninggalkan Ki Sukeri  malang tak bisa ditolak manakala kakinya menginjak bebatuan berlumut yang tanpa sengaja dia injak itu, Minah jatuh telungkup .

 " Gubrakkkk, sssstt Alah Biyung!" Minah  meringis kesakitan, sementara itu  Ki Sukeri yang tengah mengeluarkan kotorannya itu tertawa terbahak-bahak. "Hahaaa..hahahaa, Pecicilan!". "Bangkrek! kamu berak macam kambing beranak saja, lama sekali! " Minah kesal, dia bangun kemudian mencari jamban dibawah Ki Sukeri. 

" Hari ini persediaan beras habis, Raskin belum juga datang  sudah sebulan lebih , apa singkong di kebun sudah bisa dipanen Kang?"  " lah kamu apa lupa, kan singkong di kebun lenyap dimakan celeng dua malam lalu" terdengar dialog tak menyenangkan dari sepasang suami istri di jamban bawah Ki Sukeri. Minah terancam  gagal buang limbah lagi. "Lha, bukannya Celeng-celeng itu sudah diburu oleh Kang Satori beberapa bulan lalu?" tanya si perempuan, iya tapi nyatanya Singkong kita lenyap dimakan babi hutan itu" jawab si lelaki.

Minah mengenali pemilik suara tersebut, "sepertinya Daliman dan Ngatiah" dalam hati. Tak begitu jelas siapa mereka karena pagi masih gelap. Mata tua Minah sudah tidak awas  lagi pengelihatannya. Minah kembali duduk di tepi sungai menunggu kedua pasangan suami istri yang terlihat duduk berjejer, berdialog sambil   berhajat itu selesai.

 "Terus hari ini kita makan apa kang? anak-anak sebelum sekolah biasanya sarapan kang, walau sekedar singkong rebus ataupun ganyong rebus" Ngatiah bertanya pada suaminya. "yah, pinjam beras dulu ke Yu Sutimah, barangkali dia ada kan kabarnya anaknya sudah sukses bekerja di Jakarta, lha wong sekarang dia punya kamar mandi sendiri dirumah, dia sudah enak hidupnya buang hajat dan mandi dirumah ya jelas beras berlimpah juga tho yung?" jawab si lelaki. "Wealah dalah, Ngatiah sama Daliman bener" Minah membatin.

"Woeeeyyy, buruan saya sudah kebelet dari tadi, eh malah kalian asyik ngomong beras, raskin, celeng sampai dengan Sutimah kamar mandi segala, saya ini sudah dari tadi mulas, limbah di perut saya perlu dikeluarkan segera!". Minah mulai bersuara.

 "Sabar Ni, ini lagi keluar sebentar lagi ya!" kata Ngatiah. "iya Ni, seret susah keluarnya ya maklum saja makan ganyong rebus dan sayur daun singkong setiap hari hahaaa..." sahut Daliman. "saya tidak peduli kalian makan apa, yang jelas saya butuh tempat ngising" Minah marah

 Minah kembali melesat meninggalkan Daliman, Ngatiah dan serangkaian obrolan pagi yang syarat akan polemik dunia perumahtangaan. "Blumbange Kaki Naryo" Minah bergumam. Di tempat inilah Minah berharap bisa mengeluarkan kotorannya dengan aman, nyaman dan tanpa gangguan. Lalu apa hubungannya antara perutnya yang mulas dan kolam ikan Juragan Naryo?. 

Hanya di dukuh seliling kotoran manusia menjadi begitu bermanfaat bagi gizi ratusan ikan yang menghuni kolam berukuran 12x10 meter itu. Maka dengan pikiran positif dia bermaksud menyumbangkan  kotorannya bagi Ikan-ikan disana, dia bangga dan senang apabila kotoranya turut serta membantu tumbuh kembang ikan-ikan disana. Naryo memang sengaja membangun bilik hajat untuk memenuhi  asupan gizi bagi ikan-ikannya, selain itu sebagai seorang Juragan dia kerap berpikir ekonomis dengan memanfaatkan limbah badaniah warga Seliling setiap harinya, dia tak perlu membeli pakan di toko ataupun mencari daun talas di kebun. Dan ikan-ikannyapun gemuk-gemuk. Tak jarang saat lebaran tiba juragan Naryo diburu orang sedukuh Seliling untuk membeli ikan-ikannya. Dan hanya ada di Dukuh Seliling pula orang tega memberi makan ikan dengan kotoran manusia.

Dari kejauhan tampak ikan-ikan berebut makanan dari bawah bilik hajat, ikan Mujair, Bawal dan Tawes yang jumlahnya ratusan itu tampak melompat riang gembira menimbulkan bunyi kecuplak -kecuplak dan aroma maha busukpun memenuhi sudut kolam dan sekitarnya. Minah geram. "Duh Gusti, siapa lagi yang lagi berak disana, saya sudah kebelet sekali, mbok ya gantian saya ndak tahan lagi, mules sekali"! Dorongan kuat dari dalam perutnya seakan membuat Minah tak peduli lagi, dia berjalan mendekati bilik dan menemukan seorang perempuan berjongkok mengejan sekuat tenaga dengan wajah menyeringai  dibalik bilik yang hanya ditutupi terpal sobek itu.
  
"Sut! kok kamu berak disini, bukanya kamu punya Wese dirumah?, ngapain kamu berak disini, dirumahkan lebih nyaman tinggal siram terus masuk ke lubang sepiteng apa itu", Bentak Minah. 

"Anu Ni, saya ndak biasa buang kotoran di Wese, susah keluarnya, geli saya, enakan disini, lagian turut membesarkan ikan-ikan Kang Naryo toh?,kan sebentar lagi lebaran ikannya bakal dipanen,toh kita-kita juga yang nantinya makan ikannya".  Sutimah menjawab dengan polos. 

 "Ya sudah, cepetan, ayo gantian saya sudah kebelet dari tadi, kalau ndak ya geser kita sama-sama kasih makan ikan kang Naryo! Minah usul.
"Ndak mau Ni, sempit! lagian kayunya juga sudah lapuk saya takut kecebur ke kolam". Sutimah kembali menjawab. Minah pasrah.

Suara ayam jago saling bersahutan, Semburat kuning terlihat dari cakrawala timur menandakan matahari akan menyelinap mengusir pagi penuh drama di Sungai Seliling dan Minah masih dengan perutnya yang sedari tadi sabar diajaknya berkompromi. Minah kembali harus menunggu Sutimah berak, duduk di batu tepi empang. Seandainya sabar berhadiah rupiah maka sudah barang tentu Minah telah  mampu membangun lima buah sumur dan lima buah kamar mandi.

"Sut kamu makan apa sih? ngising kok lama sekali? saya tahu kamu sudah enak hidupnya, anakmu di Jakarta sudah makmur kabarnya?" tanya Minah. "Aamiin Ni, anakku itu kerja di pabrik belum sukses" jawab Sutimah. "Lha wong sudah bisa bikin kamar mandi dan kakus  berarti sudah sugih sudah makmur, lha kamu saja yang ndak mau merasakan hidup makmur, sudah punya Wese saja masih saja berak di empang" ucap Minah. Hanya di dukuh seliling pula seseorang yang punya kamar mandi dianggap telah makmur hidupnya, dan dalam hal ini Sutimahlah orang makmur yang tidak bisa menikmati kemakmurannya.

"Sut masih lama?"
"Masih Ni"
"Aduh ayolah dipercepat!"
"Iya sabar Ni, lagi keluar ini!"
"Kamu ini berak rotan apa?"
"Hih, jangan ngawur Ni, berak rotan darimana saya ini makan ayam goreng kok!"
"Lha saya tahu kamu sudah makmur, makannya ayam goreng, tapi saya heran sama kamu kenapa sih sudah punya wese kok tetep mau berak di empang"
"Tadikan saya sudah bilang, saya ndak biasa berak di wese. ndak bisa keluar Ni"
"Lha tapikan enak di wese tinggal siram-siram saja"
"Iya tapi tetep lebih enak disini Ni, begitu keluar plung trus direbutin ikan-ikan kecipak kecipak, saya suka suaranya Ni"
"Wong Edan!".

Lima belas menit sudah kira-kira Minah duduk di batu tepi empang, tak ada tanda-tanda Sutimah menyudahi ritualnya, maka Minah memutuskan untuk kembali ke Belik Tejan mengambil air wudhu dan membawa pulang embernya. Kali ini perutnya sudah tak lagi mulas, Minah berhasil menaklukan dorongan atas perutnya itu. Minah berjalan menuju belik Tejan, dia berpapasan dengan Tiyem dengan cething berisi beras yang  yang sudah dia cuci di belik. "Yem, pagi sekali sudah cuci beras" tanya Minah, "Iya Ni, Bojoku  dapat pekerjaan macul dari Juragan Naryo, jadi harus liwet pagi-pagi, mau ke belik Ni?". "oh iya,iya mau ngambil ember" jawab Minah.

Sepuluh tahun sudah Minah menjanda, hidup seorang sendiri di rumahnya yang fakir sanitasi  seperti kebanyakan warga Seliling lainnya itu mengharuskan dia setiap hari mengambil air atau dalam bahasa Purbalingganya ngangsu di Belik Tejan . Tangan tuanya yang sudah tak sekuat dahulu itu dipaksanya membawa beban berupa satu ember air, menaiki jalan setapak menuju rumahnya yang sulit dijangkau tak hanya cukup sekali dua kali dia harus ngangsu setiap harinya.

"Kampret!, air saya kok ada butiran beras begini, Tiyem ini pasti", Minah jengkel. Air yang telah ditampung minah di ember terkena butiran beras yang diduga milik Tiyem itu. Minah menumpahkan air di embernya dan bermaksud mengisi air yang baru. Begitu ember telah kosong Minah sangat kaget, karena di belik lagi-lagi ada Darman dan Rodiyah yang asyik bercengkrama sambil saling gosok menggosok badan dengan batu. Minah kembali harus melihat adegan menjengkelkan itu,  Minah bergumam "bangun tidur kok bisa-bisanya gosok-gosokan batu memang semalam habis ngapain, jangan-jangan mereka habis nggarap sawah, si Darman habis macul si Rodiyah habis tandur, iya mungkin bisa jadi". Minah bermonolog.

Minah tampak sangat kecewa, hari ini adalah hari yang bisa dikatakan sial baginya. Sederet masalah menghampirinya sewaktu pagi masih buta. Minah duduk mematung kembali harus menunggu sepasang pengantin baru itu junub.
"Masih lama nduk? saya belum subuhan, saya mau ambil air wudhu dulu keburu siang". Pinta Minah, namun pengantin baru itu tak sedikitpun menghiraukan pertanyaan Minah. Mereka melanjutkan aksi saling gosok menggosok badan dengan batu kali. Gosokan batu kali memang dipercaya melenyapkan daki, dalam sekali gosok daki-daki di badanpun akan rontok.

Minah pulang dia berjalan dengan langkah panjang-panjang, embernya yang kosong diayun-ayun kedepan kebelakang. "Bug!" Embernya terpental,  Minah kaget bukan kepalang, embernya terhempas ke semak belukar. Peristiwa terpentalnya ember berdampak pada  limbah badaniah yang seakan memohon pada empunya agar  lekas dihempaskan pula, kali ini dorongan berhajat begitu kuat Minah tampaknya tak kuasa lagi untuk menahannya, maka jongkoklah dia di semak-semak tak jauh dari lokasi embernya yang terpental. "Muga-muga  ndak ada orang, aku tak mbuang disini aja" ujarnya.

"Ni, lagi ngapain? jongkok disitu, beliknya sudah kosong, kami sudah selesai mandinya". Ucap Rodiyah. "Waduh, cilaka baru aja mau keluar udah dipucuk padahal, dari kemarin saya kok ya dibuat jengkel sama mereka ini" gumamnya. "Iya Ni gantian sana mumpung belum ada orang ke belik" Darman menambahkan. "Iya saya ndak lagi ngapa-ngapain lagi nyari ember yang keplanting, tadi tak ayun-ayun eh malah jatuh" Minah beralasan. 

Darman dan Rodiyah terlihat jalan beriringan mesra sekali. Merasa berak di semak-semak tidak aman dari gangguan Minah berpindah tempat ke Sungai seliling barangkali disana sudah sepi dari para pemburu jamban  lainnya. Minah tak memperdulikan embernya yang terpental lagi, baginya terpenting bisa berhajat pagi ini.

Harapan sungai seliling sepi nampaknya hanya angan-angan Minah, karena dalam kenyataannya sungai seliling tak pernah sepi dari hari ke hari. Minahpun berbalik arah, empang juragan Naryo tujuannya. barangkali disana tak ada orang. Sial, lagi-lagi Minah tak dapat giliran. Sutimah masih menelurkan kotorannya padahal ikan-ikan juragan Naryo tampaknya telah kenyang, gerakannya tak seliar saat pertama Minah datang, suara kecipak-kecipak juga tidak terdengar.

"Lha kamu masih disini Sut kamu apa ndak merasa bahwa ikan-ikan juragan Naryo sudah bosan sama pakanmu?"
"Eh Ni, bukannya tadi ke belik?" Sutimah  menjawab pertanyaan yang jelas tidak diharapkan Minah
"Iya saya ke belik karena ndak mau menunggumu berak lebih lama, eh tapi ternyata kamu masih awet di Blumbang ini, ayo bangkitlah sungguh saya mulas sekali"
"Sebentar Ni, sebentar lagi sebentar" ujar Sutimah.
"Sebentar yang bagaimana, sampai kapan? Sampai matahari meninggi dan ikan-ikan disini mati karena limbahmu?" Minah mulai hilang kesabaran. "Kalau ndak kamu geser! kita berjejer". Usul Minah
"Sudah kubilang kayunya rapuh Ni! sudahlah sabar sebentar saja, tunggu!" Sutimah sewot
"Ndak bisa pokoknya kalau ndak mau gantian kamu geser!. Minah menuju bilik hajat, Sutimah pasrah. Merekapun duduk berjejer, limbah Minah belum lagi keluar ikan-ikan juragan Naryo nampak menjauhseakan  tak sudi mencicipi limbah Minah.

"Makanya makan ayam goreng seperti saya, lha wong makan singkong rebus mana enak limbahnya, bahkan ikan-ikan disini tak sudi mencicipi eekmu Ni, selain tidak enak tentu tidak bergizi", Sutimah ketus. Sejak kapan pula limbah manusia bergizi?  Minah membatin. "Lha saya makan ayam goreng ya kalau lebaran Sut, wong saya micin aja ndak kebeli kok boro-boro ayam goreng". jawab Minah. "Ikan-ikan disini kabur bisa jadi karena muak dengan taikmu, bau ayam mati!. Sutimah bangkit dari jongkoknya merasa tersinggung dengan perkataan Minah. "Kalau ngomong jangan sembarangan Ni!" seraya berkacak pinggang.

Tiba-tiba kayu lapuk yang disandarkan pada bilik hajat patah, Minah dan Sutimah tercebur ke kolam sedalam tiga meter itu. Karena tak piawai berenang keduanyapun terlihat timbul tenggelam bersama kotoran-kotoran mereka sendiri.

Dari kejauhan terlihat Juragan Naryo berjalan menuju jamban empangnya, memang setiap pagi Juragan Naryo selalu memonitor jambannya, dapat dipastikan pula ia  membawa serta limbah badaniahnya teruntuk ikan-ikannya tercinta, hal ini tak dapat diragukan jika melihat langkah kakinya yang panjang-panjang. Seakan langkah kaki yang panjang itu berbanding lurus dengan waktu tiba ditempat tujuan. Naryo kaget bukan kepalang ketika menjumpai jamban yang dibangunnya tak ada lagi  di kolamnya. Ternyata jamban itu roboh, ia mengumpat siapa gerangan yang telah merobohkan jambannya. Belum lagi habis umpatannya ia melihat terpal yang digunakan sebagai pagar penutup jamban mengapung dan bergerak-gerak.  Naryo melihat dengan seksama, dijumpailah dua sosok  manusia yang tenggelam di kolamnya. "Innalillahi, Sutimah Nini Gabug!".


***
Mata Minah tak dibiarkan terpejam meskipun kini berada dalam ruang pesakitan. Minah terus mengajak bola matanya melihat sekeliling. Sesekali ia menatap langit-langit ruangan itu, tatap penuh tanya apakah benar ini langit-langit kamar surga, apakah dirinya telah meninggalkan kampung singgah bernama dunia?. Agaknya tak berlebihan bila jika ruangan tersebut Minah kira sebagai Surga. Sebuah ruangan yang tak pernah ia masuki sebelumnya, memiliki lantai keramik, bertembok semen, bercat putih. Ia terbaring di kasur yang empuk dengan sprei dan selimut harum sekali. Barang Surga lainnya adalah televisi layar datar yang tengah menyala mempertontonkan gosip artis di Ibukota.

 "Iya yasudah Mey Nini Gabug dan ibumu  sudah dibawa kemari, jangan khawatir, yasudah hati-hati". sayup-sayup terdengar suara merambat ke telinga Minah. Minah menengok ke sebelahnya ternyata ada Sutimah yang tengah terbaring pula, di samping sutimah ada Tiyem adik Sutimah tengah bercakap dengan anak Sutimah melalui telepon seluler, ada juga bersama Tiyem si pemilik telepon seluler itu yaitu Juragan Naryo. 

Minah semakin bingung, jika kini berada di Surga lalu mengapa pula ada Tiyem dan juragan Naryo? Minah semakin  bingung,  oleh karena kebingungannya ada hasrat ingin berak,Minah bangun. "Ni bagaimana sudah enakkan?", tanya Tiyem.

 "Jamban mana jamban yem, dimana saya mau berak". tanyanya. "Tidak ada jamban Ni, adanya Wese". "Hah Wese?, memang ini dimana Yem? Sebuah ruangan yang dikira Surga ternyata hanya  sebuah kamar rawat inap kelas 1 sebuah rumah sakit di kota Purbalingga.

 "Saya juga mau ke wese Yem",  Sutimah turut berbicara. " tidak saya duluan Sut!" Minah tak mau kalah. Akhirnya Minah lebih dulu dipapah ke toilet oleh Tiyem. Minah bingung mengapa tak menjumpai bentuk Wese seperti dirumah Sutimah. "Ini jamban modern Ni, dipakainya duduk kata suster".

 Minah duduk khidmat, tak berapa lama terdengar bunyi "plung" disertai aroma menyengat. Tunai sudah. 
 " Udahan Yem, ini ceboknya bagaimana nyiramnya bagaimana? kok ndak ada gayung" tanyanya polos

 "Saya juga ndak ngerti Ni", jawab Tiyem. "Oalaaahhh ternyata jamban modern repot juga  ya yem!" Minah berkomentar. 

Tiyem berfikir bagaimana cara menyiram kotoran Minah "Sebentar Ni, saya tanya petugas, tunggu sebentar!". Minah mengangguk, dan membatin mengapa hidupnya selalu berurusan dengan masalah perjambanan.








 Misyatun
Jakarta 23 Feb 2017




































Bulan Penghabisan

Juli... Bulan penghabisan Waktunya keluar dari zona nyaman Kembali mengembara Mengejar cita Mengolah pikir Memelihara sadar Memanusiakan di...