Terlihat bulatan api menyembul dari balik
pepohonan bambu, cahayanya mampu menembus kabut pagi di jalan setapak Dukuh
Seliling. Makin lama, bulatan api itu kian menjilat pagi yang masih jelaga. Terdengar
derap langkah yang memecah sunyi menuju gemericik air sungai Seliling. Derap langkah
itu milik Minah, janda tanpa anak yang
lebih akrab disapa Nini Gabug oleh warga sekitar.
Sesekali terdengar suara
nafas memburu bersahutan dengan bunyi blarak kering yang terbakar di tangan kanannya. Blarak adalah
daun kelapa kering yang biasa dibakar untuk obor. Usianya yang lewat setengah
abad , membuat Nini Gabug terengah-engah saat menuruni bantaran sungai setinggi
12 meter itu. "Duh Jan..sudah
kebelet, kok ya sepertinya sungai Seliling tambah Jauh jaraknya". Minah
membatin sambil mempercepat langkah.
Seperti biasanya Nini Gabug selalu
terbangun tak lama setelah Kyai Ahmad Khobari mengumandangkan Adzan Subuh di
Masjid Dukuh Seliling. Bagi Minah Kalimat adzan Assholatu khairum Mina naum
adalah suara panggilan langsung dari Tuhan meskipun melalui perantara mulut hambanya
yaitu Kyai Ahmad.
Maka tak ada alasan
bagi Minah untuk tidak bangun. Pagipun dimulai, hal pertama yang selalu dilakukan Nini Minah
adalah meraih sebuah ember plastik berwarna hitam di pojok dapur untuk diisi
air bersih di Belik Tejan dan menunaikan
hajat pagi di Sungai Seliling. Belik Tejan dan Sungai Seliling adalah dua
tempat maha penting bagi kelangsungan hidup warga Dukuh Seliling. Tanpa kedua
tempat ini Seliling hanyalah sebuah semak belukar tanpa kehidupan.
Belik Tejan merupakan sumur tua
yang berada di sebelah tenggara Sungai Seliling. Satu-satunya sumber
mata air yang tidak pernah mengalami kekeringan
selama musim kemarau. Segala kegiatan warga yang berurusan dengan cuci mencuci
dilakukan disana. Sementara Sungai Seliling adalah jamban sejuta umat dengan
bau busuk yang mampu menusuk hidung bagi siapapun yang melintasinya.
Predikat jamban sejuta umat bukan tanpa
alasan tentunya, jamban ini sangat ramai bak pasar kala pagi, dialog-dialog
keluhan seputar keresahan warga terkait kenaikan harga beras, cabe, bawang dan
minyak goreng dapat terjadi sewaktu-waktu bahkan hampir setiap hari bersamaan
dengan keluarnya kotoran-kotoran badaniah yang mencemari Sungai Seliling itu.
Bahkan tak jarang pula kicau sumpah serapah terlontar dari
mulut-mulut sesama warga tanpa diduga sebelumnya, masalahnya masih sangat epik
yaitu rebutan pengisingan atau kakus berupa dua buah batu kali berukuran sedang
yang ditata sejajar ditepi Sungai untuk jongkok membuang kotoran badaniah
sewaktu pagi.
Seliling adalah sebuah dusun miskin di desa
Tunjungmuli, terletak di tepi bukit, tempat pohon pinus tumbuh subur di
belantara kota Perwira Purbalingga. Meskipun berada dibawah bukit, Seliling
dikenal sebagai dusun dengan sanitasi
paling buruk di desa Tunjungmuli.
Hampir seluruh warga Dukuh Seliling tidak
memiliki kamar mandi apalagi kakus meskipun rumahnya gedongan sekalipun,
kecuali rumah keluarga Sutimah Janda
miskin yang ditinggal mati suaminya lima tahun lalu itu memiliki kamar mandi
lengkap dengan kakusnya. Dipelopori sang anak yang sudah satu tahun merantau di
Ibukota mulai merasa risih mandi di alam
terbuka apabila pulang kampung, maka
uang hasil kiriman anaknya itu dibuatkan kamar mandi dengan aliran air dari
selang air yang diulur ke sumber mata air bersih nun jauh di puncak bukit
Seliling.
Anak Sutimah kerap dinilai kehilangan rasa merdesa, padahal sewaktu
belum mengenal Jakarta dia terbiasa mandi di Belik Tejan dan buang hajat
berjamaah pula di Sungai Seliling.
Srek...Srek...terdengar langkah yang
diseret pelan oleh pemiliknya, sampailah Minah di bibir belik Tejan dia merasa
lega karena dibelik tak ada seorangpun selain dirinya. Bayangan akan Darman dan
Rodiyah kedua pasangan pengantin baru yang tengah mandi junub kemarin pagi belum
juga lenyap dari benaknya. Dia masih merasa jengkel tiada tara oleh sepasang
pengantin baru itu, Minah menghabiskan waktu lebih dari setengah jam menunggu
mereka. Beruntunglah Minah tak menemukan pasangan pengantin baru itu lagi. Maka
tanpa banyak pikir Minah menepikan obornya dan
langsung mengisi ember dengan rantang yang tersedia di belik sebagai
ciduk itu.
"Alhamdulillah, ndak ada penganten
anyar" Gumamnya. Rantang demi rantang air mengisi embernya, segera Minah
menepikan ember yang telah penuh.
Minah segera melesat meninggalkan belik
untuk menunaikan hajat pagi yang sedari tadi membuat perutnya mulas itu, kali
ini dia sudah tak kuasa menahannya lagi . Berjalanlah Minah ke Sungai Seliling
bersama obor blarak yang semakin meredup
karena perlahan habis termakan api.
Kini Minah sudah berada di bibir sungai,
aroma busuk merambat, menyusup masuk melalui lubang hidungnya. Minah tak
peduli, sudah puluhan tahun ia mencium aroma yang sama, maka ia lekas mencari
tempat nyaman untuk berhajat, baru saja mau berjongkok dirinya dikagetkan oleh dua sosok yang tengah berhajat
tepat dibelakangnya, tidak begitu jelas wajahnya karena pagi masih buta.
"Aja Tongkrong kiye ana enyong " ( Jangan dulu
jongkok, ini ada saya) pinta seorang perempuan. "Iya sabar antre"
sahut seorang lelaki.
Rupanya suara itu adalah milik sepasang kakek dan nenek
Muhrojim yang sedang buang hajat, mereka tampak asyik berdiam diri sedari
tadi seperti halnya tapa brata tanpa
suara sehingga Minah tidak mengetahui keberadaan mereka. Maka tanpa permisi
Nini Gabug segera beralih ke tempat lain.
Nini Gabug berjalan menuju Sungai Seliling
bawah, disanalah dia akan menunaikan hajatnya.
Sial tak bisa diprediksi, untung
tak bisa ditebak, kali sial akrab dengan Nini Gabug manakala dia mendapati Ki Sukeri tengah asyik masyuk berjongkok ria
sambil menghisap lintingan tembakaunya.
Asap tembakau tampak mengepul dari bibir Ki Sukeri, keluar masuk menuju lubang
hidungnya. Berak sambil merokok adalah kenikmatan tiada tanding bagi Ki
Sukeri, kenikmatan itu pula yang membuat
dia tak melihat kedatangan Minah yang
berjalan di dekatnya.
Nini
Gabug memandang takjub ke arah Sukeri, pandangan penuh tanya bagaimana bisa
Sukeri sangat menikmati rokoknya sementara bau busuk menusuk-nusuk hidungnya.
Nini Gabug berfikir positif, mungkin Sukeri merokok supaya hidungnya tak
mencium bau busuk tumpukan limbah
badaniah sejuta umat warga Dukuh Seliling selama kemarau panjang yang
telah berlangsung hampir tiga bulan itu.
"Waduh cilaka! perutku sudah tidak tahan
lagi, bagaimana ini?" gumamnya. keresahan Minah bukan saja karena dorongan
ingin buang air besar melainkan pagi masih gelap sementara obornya nyaris
padam, api memakan obor blarak Minah teramat rakusnya.
Sebelum bergerak
mencari pengisingan lain dengan pertimbangan obornya yang
nyaris habis Minah memutuskan menunggu
Sukeri selesai saja, Dia duduk di batu tepi sungai. Bau busuk pagi itu membuat
Minah harus menutup hidungnya dengan tangan, lima sepuluh menit menunggu Sukeri
tak juga beranjak dari pengisingan. Sukeri masih terlihat jongkok santai dengan
kepulan asap tembakau membumbung tinggi
Minah mulai resah, dipegangnya perutnya
kuat-kuat.
Minah memaksa diri untuk bersabar lagi, sementara kaki dan tangannya
mulai terasa gatal-gatal akibat gigitan nyamuk kali. Minah memutuskan untuk
mencari pengisingan lain. Minah tidak
menyadari bahwa kini obornya benar-benar
padam, tetapi karena dorongan kuat ingin buang air besar maka ia memaksa diri berjalan terseok-seok meninggalkan Ki Sukeri.
Derap langkah kaki tuanya yang dibalut sandal jepit itu beradu dengan bebatuan
kali, meimbulkan suara teplak teplek iramanya sangat teratur, baru dua tiga
langkah meninggalkan Ki Sukeri malang
tak bisa ditolak manakala kakinya menginjak bebatuan berlumut yang tanpa
sengaja dia injak itu, Minah jatuh telungkup .
" Gubrakkkk, sssstt Alah Biyung!" Minah
meringis kesakitan, sementara itu Ki Sukeri yang tengah mengeluarkan kotorannya
itu tertawa terbahak-bahak. "Hahaaa..hahahaa, Pecicilan!". "Bangkrek!
kamu berak macam kambing beranak saja, lama sekali! " Minah kesal, dia bangun
kemudian mencari jamban dibawah Ki Sukeri.
" Hari ini persediaan beras habis,
Raskin belum juga datang sudah sebulan
lebih , apa singkong di kebun sudah bisa dipanen Kang?" " lah kamu apa lupa, kan singkong di
kebun lenyap dimakan celeng dua malam lalu" terdengar dialog tak
menyenangkan dari sepasang suami istri di jamban bawah Ki Sukeri. Minah
terancam gagal buang limbah lagi.
"Lha, bukannya Celeng-celeng itu sudah diburu oleh Kang Satori beberapa
bulan lalu?" tanya si perempuan, iya tapi nyatanya Singkong kita lenyap
dimakan babi hutan itu" jawab si lelaki.
Minah mengenali pemilik suara tersebut,
"sepertinya Daliman dan Ngatiah" dalam hati. Tak begitu jelas siapa
mereka karena pagi masih gelap. Mata tua Minah sudah tidak awas lagi pengelihatannya. Minah kembali duduk di
tepi sungai menunggu kedua pasangan suami istri yang terlihat duduk berjejer,
berdialog sambil berhajat itu selesai.
"Terus hari ini kita makan apa kang?
anak-anak sebelum sekolah biasanya sarapan kang, walau sekedar singkong rebus
ataupun ganyong rebus" Ngatiah bertanya pada suaminya. "yah, pinjam
beras dulu ke Yu Sutimah, barangkali dia ada kan kabarnya anaknya sudah sukses
bekerja di Jakarta, lha wong sekarang dia punya kamar mandi sendiri dirumah,
dia sudah enak hidupnya buang hajat dan mandi dirumah ya jelas beras berlimpah
juga tho yung?" jawab si lelaki. "Wealah dalah, Ngatiah sama Daliman
bener" Minah membatin.
"Woeeeyyy, buruan saya sudah kebelet
dari tadi, eh malah kalian asyik ngomong beras, raskin, celeng sampai dengan Sutimah
kamar mandi segala, saya ini sudah dari tadi mulas, limbah di perut saya perlu
dikeluarkan segera!". Minah mulai bersuara.
"Sabar Ni, ini lagi
keluar sebentar lagi ya!" kata Ngatiah. "iya Ni, seret susah
keluarnya ya maklum saja makan ganyong rebus dan sayur daun singkong setiap
hari hahaaa..." sahut Daliman. "saya tidak peduli kalian makan apa,
yang jelas saya butuh tempat ngising"
Minah marah
Minah kembali melesat meninggalkan Daliman,
Ngatiah dan serangkaian obrolan pagi yang syarat akan polemik dunia
perumahtangaan. "Blumbange Kaki
Naryo" Minah bergumam. Di tempat inilah Minah berharap bisa mengeluarkan
kotorannya dengan aman, nyaman dan tanpa gangguan. Lalu apa hubungannya antara
perutnya yang mulas dan kolam ikan Juragan Naryo?.
Hanya di dukuh seliling
kotoran manusia menjadi begitu bermanfaat bagi gizi ratusan ikan yang menghuni
kolam berukuran 12x10 meter itu. Maka dengan pikiran positif dia bermaksud
menyumbangkan kotorannya bagi Ikan-ikan
disana, dia bangga dan senang apabila kotoranya turut serta membantu tumbuh
kembang ikan-ikan disana. Naryo memang sengaja membangun bilik hajat untuk
memenuhi asupan gizi bagi ikan-ikannya,
selain itu sebagai seorang Juragan dia kerap berpikir ekonomis dengan
memanfaatkan limbah badaniah warga Seliling setiap harinya, dia tak perlu
membeli pakan di toko ataupun mencari daun talas di kebun. Dan ikan-ikannyapun
gemuk-gemuk. Tak jarang saat lebaran tiba juragan Naryo diburu orang sedukuh
Seliling untuk membeli ikan-ikannya. Dan hanya ada di Dukuh Seliling pula orang
tega memberi makan ikan dengan kotoran manusia.
Dari kejauhan tampak ikan-ikan berebut
makanan dari bawah bilik hajat, ikan Mujair, Bawal dan Tawes yang jumlahnya
ratusan itu tampak melompat riang gembira menimbulkan bunyi kecuplak -kecuplak
dan aroma maha busukpun memenuhi sudut kolam dan sekitarnya. Minah geram.
"Duh Gusti, siapa lagi yang lagi berak disana, saya sudah kebelet sekali,
mbok ya gantian saya ndak tahan lagi, mules sekali"! Dorongan kuat dari
dalam perutnya seakan membuat Minah tak peduli lagi, dia berjalan mendekati
bilik dan menemukan seorang perempuan berjongkok mengejan sekuat tenaga dengan
wajah menyeringai dibalik bilik yang
hanya ditutupi terpal sobek itu.
"Sut! kok kamu berak disini, bukanya kamu
punya Wese dirumah?, ngapain kamu berak disini, dirumahkan lebih nyaman tinggal
siram terus masuk ke lubang sepiteng apa itu", Bentak Minah.
"Anu Ni,
saya ndak biasa buang kotoran di Wese, susah keluarnya, geli saya, enakan disini,
lagian turut membesarkan ikan-ikan Kang Naryo toh?,kan sebentar lagi lebaran
ikannya bakal dipanen,toh kita-kita juga yang nantinya makan ikannya". Sutimah menjawab dengan polos.
"Ya sudah, cepetan, ayo gantian saya
sudah kebelet dari tadi, kalau ndak ya geser kita sama-sama kasih makan ikan
kang Naryo! Minah usul.
"Ndak mau Ni, sempit! lagian kayunya
juga sudah lapuk saya takut kecebur ke kolam". Sutimah kembali menjawab.
Minah pasrah.
Suara ayam jago saling bersahutan, Semburat kuning terlihat dari
cakrawala timur menandakan matahari akan menyelinap mengusir pagi penuh drama
di Sungai Seliling dan Minah masih dengan perutnya yang sedari tadi sabar diajaknya
berkompromi. Minah kembali harus menunggu Sutimah berak, duduk di batu tepi
empang. Seandainya sabar berhadiah rupiah maka sudah barang tentu Minah
telah mampu membangun lima buah sumur
dan lima buah kamar mandi.
"Sut kamu makan apa sih? ngising kok lama sekali? saya tahu kamu
sudah enak hidupnya, anakmu di Jakarta sudah makmur kabarnya?" tanya
Minah. "Aamiin Ni, anakku itu kerja di pabrik belum sukses" jawab
Sutimah. "Lha wong sudah bisa bikin kamar mandi dan kakus berarti sudah sugih sudah makmur, lha kamu saja yang ndak mau merasakan hidup
makmur, sudah punya Wese saja masih saja berak di empang" ucap Minah. Hanya
di dukuh seliling pula seseorang yang punya kamar mandi dianggap telah makmur
hidupnya, dan dalam hal ini Sutimahlah orang makmur yang tidak bisa menikmati
kemakmurannya.
"Sut masih lama?"
"Masih Ni"
"Aduh ayolah dipercepat!"
"Iya sabar Ni, lagi keluar ini!"
"Kamu ini berak rotan apa?"
"Hih, jangan ngawur Ni, berak rotan
darimana saya ini makan ayam goreng kok!"
"Lha saya tahu kamu sudah makmur,
makannya ayam goreng, tapi saya heran sama kamu kenapa sih sudah punya wese kok
tetep mau berak di empang"
"Tadikan saya sudah bilang, saya ndak
biasa berak di wese. ndak bisa keluar Ni"
"Lha tapikan enak di wese tinggal
siram-siram saja"
"Iya tapi tetep lebih enak disini Ni, begitu keluar plung trus direbutin ikan-ikan kecipak
kecipak, saya suka suaranya Ni"
"Wong
Edan!".
Lima belas menit sudah kira-kira Minah
duduk di batu tepi empang, tak ada tanda-tanda Sutimah menyudahi ritualnya, maka
Minah memutuskan untuk kembali ke Belik Tejan mengambil air wudhu dan membawa
pulang embernya. Kali ini perutnya sudah tak lagi mulas, Minah berhasil menaklukan
dorongan atas perutnya itu. Minah berjalan menuju belik Tejan, dia berpapasan
dengan Tiyem dengan cething berisi beras yang
yang sudah dia cuci di belik. "Yem, pagi sekali sudah cuci
beras" tanya Minah, "Iya Ni, Bojoku
dapat pekerjaan macul dari Juragan Naryo, jadi harus liwet pagi-pagi,
mau ke belik Ni?". "oh iya,iya mau ngambil ember" jawab Minah.
Sepuluh tahun sudah Minah menjanda, hidup seorang
sendiri di rumahnya yang fakir sanitasi seperti kebanyakan warga
Seliling lainnya itu mengharuskan dia setiap hari mengambil air atau dalam
bahasa Purbalingganya ngangsu di
Belik Tejan . Tangan tuanya yang sudah tak sekuat dahulu itu dipaksanya membawa
beban berupa satu ember air, menaiki jalan setapak menuju rumahnya yang sulit
dijangkau tak hanya cukup sekali dua kali dia harus ngangsu setiap harinya.
"Kampret!, air saya kok ada butiran
beras begini, Tiyem ini pasti", Minah jengkel. Air yang telah ditampung
minah di ember terkena butiran beras yang diduga milik Tiyem itu. Minah
menumpahkan air di embernya dan bermaksud mengisi air yang baru. Begitu ember
telah kosong Minah sangat kaget, karena di belik lagi-lagi ada Darman dan
Rodiyah yang asyik bercengkrama sambil saling gosok menggosok badan dengan
batu. Minah kembali harus melihat adegan menjengkelkan itu, Minah bergumam "bangun tidur kok
bisa-bisanya gosok-gosokan batu memang semalam habis ngapain, jangan-jangan
mereka habis nggarap sawah, si Darman habis macul si Rodiyah habis tandur, iya
mungkin bisa jadi". Minah bermonolog.
Minah tampak sangat kecewa, hari ini adalah
hari yang bisa dikatakan sial baginya. Sederet masalah menghampirinya sewaktu
pagi masih buta. Minah duduk mematung kembali harus menunggu sepasang pengantin
baru itu junub.
"Masih lama nduk? saya belum subuhan, saya mau ambil air wudhu dulu
keburu siang". Pinta Minah, namun pengantin baru itu tak sedikitpun
menghiraukan pertanyaan Minah. Mereka melanjutkan aksi saling gosok menggosok
badan dengan batu kali. Gosokan batu kali memang dipercaya melenyapkan daki,
dalam sekali gosok daki-daki di badanpun akan rontok.
Minah pulang dia berjalan dengan langkah
panjang-panjang, embernya yang kosong diayun-ayun kedepan kebelakang.
"Bug!" Embernya terpental, Minah kaget bukan kepalang, embernya terhempas
ke semak belukar. Peristiwa terpentalnya ember berdampak pada limbah badaniah yang seakan memohon pada
empunya agar lekas dihempaskan pula,
kali ini dorongan berhajat begitu kuat Minah tampaknya tak kuasa lagi untuk
menahannya, maka jongkoklah dia di semak-semak tak jauh dari lokasi embernya
yang terpental. "Muga-muga ndak ada
orang, aku tak mbuang disini aja" ujarnya.
"Ni, lagi ngapain? jongkok disitu,
beliknya sudah kosong, kami sudah selesai mandinya". Ucap Rodiyah.
"Waduh, cilaka baru aja mau keluar udah dipucuk padahal, dari kemarin saya
kok ya dibuat jengkel sama mereka ini" gumamnya. "Iya Ni gantian sana
mumpung belum ada orang ke belik" Darman menambahkan. "Iya saya ndak
lagi ngapa-ngapain lagi nyari ember yang keplanting,
tadi tak ayun-ayun eh malah jatuh" Minah beralasan.
Darman dan Rodiyah
terlihat jalan beriringan mesra sekali. Merasa berak di semak-semak tidak aman
dari gangguan Minah berpindah tempat ke Sungai seliling barangkali disana sudah
sepi dari para pemburu jamban lainnya. Minah
tak memperdulikan embernya yang terpental lagi, baginya terpenting bisa
berhajat pagi ini.
Harapan sungai seliling sepi nampaknya
hanya angan-angan Minah, karena dalam kenyataannya sungai seliling tak pernah
sepi dari hari ke hari. Minahpun berbalik arah, empang juragan Naryo tujuannya.
barangkali disana tak ada orang. Sial, lagi-lagi Minah tak dapat giliran. Sutimah
masih menelurkan kotorannya padahal ikan-ikan juragan Naryo tampaknya telah
kenyang, gerakannya tak seliar saat pertama Minah datang, suara kecipak-kecipak
juga tidak terdengar.
"Lha kamu masih disini Sut kamu apa
ndak merasa bahwa ikan-ikan juragan Naryo sudah bosan sama pakanmu?"
"Eh Ni, bukannya tadi ke belik?"
Sutimah menjawab pertanyaan yang jelas
tidak diharapkan Minah
"Iya saya ke belik karena ndak mau
menunggumu berak lebih lama, eh tapi ternyata kamu masih awet di Blumbang ini,
ayo bangkitlah sungguh saya mulas sekali"
"Sebentar Ni, sebentar lagi
sebentar" ujar Sutimah.
"Sebentar yang bagaimana, sampai
kapan? Sampai matahari meninggi dan ikan-ikan disini mati karena limbahmu?"
Minah mulai hilang kesabaran. "Kalau ndak kamu geser! kita berjejer".
Usul Minah
"Sudah kubilang kayunya rapuh Ni!
sudahlah sabar sebentar saja, tunggu!" Sutimah sewot
"Ndak bisa pokoknya kalau ndak mau
gantian kamu geser!. Minah menuju bilik hajat, Sutimah pasrah. Merekapun duduk
berjejer, limbah Minah belum lagi keluar ikan-ikan juragan Naryo nampak menjauhseakan
tak sudi mencicipi limbah Minah.
"Makanya makan ayam goreng seperti
saya, lha wong makan singkong rebus mana enak limbahnya, bahkan ikan-ikan
disini tak sudi mencicipi eekmu Ni, selain tidak enak tentu tidak
bergizi", Sutimah ketus. Sejak kapan pula limbah manusia bergizi? Minah membatin. "Lha saya makan ayam
goreng ya kalau lebaran Sut, wong saya micin aja ndak kebeli kok boro-boro ayam
goreng". jawab Minah. "Ikan-ikan disini kabur bisa jadi karena muak
dengan taikmu, bau ayam mati!. Sutimah bangkit dari jongkoknya merasa
tersinggung dengan perkataan Minah. "Kalau ngomong jangan sembarangan
Ni!" seraya berkacak pinggang.
Tiba-tiba kayu lapuk yang disandarkan pada
bilik hajat patah, Minah dan Sutimah tercebur ke kolam sedalam tiga meter itu.
Karena tak piawai berenang keduanyapun terlihat timbul tenggelam bersama
kotoran-kotoran mereka sendiri.
Dari kejauhan terlihat Juragan Naryo berjalan
menuju jamban empangnya, memang setiap pagi Juragan Naryo selalu memonitor
jambannya, dapat dipastikan pula ia
membawa serta limbah badaniahnya teruntuk ikan-ikannya tercinta, hal ini
tak dapat diragukan jika melihat langkah kakinya yang panjang-panjang. Seakan
langkah kaki yang panjang itu berbanding lurus dengan waktu tiba ditempat
tujuan. Naryo kaget bukan kepalang ketika menjumpai jamban yang dibangunnya tak
ada lagi di kolamnya. Ternyata jamban
itu roboh, ia mengumpat siapa gerangan yang telah merobohkan jambannya. Belum
lagi habis umpatannya ia melihat terpal yang digunakan sebagai pagar penutup
jamban mengapung dan bergerak-gerak. Naryo melihat dengan seksama, dijumpailah dua
sosok manusia yang tenggelam di
kolamnya. "Innalillahi, Sutimah Nini Gabug!".
***
Mata Minah tak dibiarkan terpejam meskipun
kini berada dalam ruang pesakitan. Minah terus mengajak bola matanya melihat
sekeliling. Sesekali ia menatap langit-langit ruangan itu, tatap penuh tanya
apakah benar ini langit-langit kamar surga, apakah dirinya telah meninggalkan
kampung singgah bernama dunia?. Agaknya tak berlebihan bila jika ruangan
tersebut Minah kira sebagai Surga. Sebuah ruangan yang tak pernah ia masuki
sebelumnya, memiliki lantai keramik, bertembok semen, bercat putih. Ia
terbaring di kasur yang empuk dengan sprei dan selimut harum sekali. Barang
Surga lainnya adalah televisi layar datar yang tengah menyala mempertontonkan
gosip artis di Ibukota.
"Iya
yasudah Mey Nini Gabug dan ibumu sudah
dibawa kemari, jangan khawatir, yasudah hati-hati". sayup-sayup terdengar suara
merambat ke telinga Minah. Minah menengok ke sebelahnya ternyata ada Sutimah
yang tengah terbaring pula, di samping sutimah ada Tiyem adik Sutimah tengah
bercakap dengan anak Sutimah melalui telepon seluler, ada juga bersama Tiyem si
pemilik telepon seluler itu yaitu Juragan Naryo.
Minah semakin bingung, jika
kini berada di Surga lalu mengapa pula ada Tiyem dan juragan Naryo? Minah
semakin bingung, oleh karena kebingungannya ada hasrat ingin
berak,Minah bangun. "Ni bagaimana sudah
enakkan?", tanya Tiyem.
"Jamban mana jamban yem, dimana saya mau berak".
tanyanya. "Tidak ada jamban Ni, adanya Wese". "Hah Wese?, memang
ini dimana Yem? Sebuah ruangan yang dikira Surga ternyata hanya sebuah kamar rawat inap kelas 1 sebuah rumah
sakit di kota Purbalingga.
"Saya juga mau ke wese Yem", Sutimah
turut berbicara. " tidak saya duluan Sut!" Minah tak mau kalah.
Akhirnya Minah lebih dulu dipapah ke toilet oleh Tiyem. Minah bingung mengapa
tak menjumpai bentuk Wese seperti dirumah Sutimah. "Ini jamban modern Ni,
dipakainya duduk kata suster".
Minah duduk khidmat, tak berapa lama
terdengar bunyi "plung" disertai aroma menyengat. Tunai sudah.
" Udahan Yem, ini ceboknya bagaimana nyiramnya
bagaimana? kok ndak ada gayung" tanyanya polos
"Saya juga ndak ngerti Ni", jawab
Tiyem. "Oalaaahhh ternyata jamban modern repot juga ya yem!" Minah berkomentar.
Tiyem
berfikir bagaimana cara menyiram kotoran Minah "Sebentar Ni, saya tanya petugas, tunggu sebentar!". Minah mengangguk, dan membatin mengapa
hidupnya selalu berurusan dengan masalah perjambanan.
Misyatun
Jakarta 23 Feb 2017