Senin, 14 Juli 2014

sakitnya sang Imam

Adzan Isya mulai berkumandang begitu nyaringnya di masjid-masjid yang sudah meninggikan menara TOAnya  sebelum Ramadhan datang beberapa saat lalu. Aku bersama Denis sepupuku yang tahun ini baru naik kelas 6 SD berjalan pelan, sangat hati-hati karena lampu senter yang kubawa tak lagi terang, semalam lupa tidak di charger. Menaiki jalan setapak dukuh Seliling yang gelap,licin dengan bebatuan berlumut membuat sandal jepit tak nyaman dipakai,kalau tidak hati-hati benar bisa terpleset ke kebon kapulaga sekeliling jalan. Genangan air sisa hujan sore masih tampak di sela-sela batu hal ini tak menyurutkan langkah pengikut Muhammad SAW ini yang berniat menunaikan ibadah sholat Tarawih. Celana panjang ku gulung, sarung Denis tampak dicincingkan,bukan apa-apa salah injak batu yang goyang bisa menciprat air di sela-selanya ke pakaian kami.

Sudah pukul 19.23 tak ada adzan Isya berkumandang, suasana sepi jamaah, tak ada satupun laki-laki dari Seliling Lor yang ada hanyalah 2 orang wanita dan satu anak kecil  di dalam mushola yang lebih umum kami sebut “Langgar” itu. Maka dengan perasaan dongkol kutabuh kenthong dan bedug tujuannya adalah untuk memanggil para jamaah. Lumayan tiga 0rang datang, dua perempuan tua dan satu laki-laki dewasa bernama kang Djahudi. Tak kujumpai Imam Langgar datang, ada kabar beliau sakit.Hal ini yang membuat beberapa jamaah tidak hadir. Tanpa banyak kata kang Djahudi mengumandangkan adzan Isya.

Maka dengan perasaan grogi iapun mengimami jamaah sholat Isya, meskipun kaku dan sering salah bacaan sholatnya ia berusaha menjadi imam yang baik, maklum ini kali pertama ia menjadi imam di mushola. Kang Djahudi mohon maaf kepada Jamaah bahwa ia tidak bisa mengimami sholat Tarawih maka setelah tahlil aku dan denis kembali kerumah...yah meskipun kecewa tak dapat sholat Tarawih malam ke 17 di bulan ramadhan tapi tak apalah. Kugulung sajadahku dan pulang kerumah. Aku bukan orang yang religius atau mau sok religius tapi pada kesempatan yang baik, di bulan yang baik ini pula aku berusaha beribadah, menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim sebaik-baiknya.

Hanya ada dua orang yang bisa menjadi Imam mushola sepeninggal bapakku yaitu pamanku sendiri dan kang Tarno. Paman sudah 2 tahun ini kena struk, kang Tarno sudah 4 hari ini sakit. Hal ini membuatku berpikir kalau sudah tak ada lagi kang Tarno siapa yang mau menjadi Imam mushola? Aku jadi ingat suatu hal yaitu pernah berontak pada bapak karena beliau ingin aku masuk pondok pesantren selepas SD, beliau bilang kalau aku masuk pondok pesantren bisa dapat jodoh anak pondok yang sudah pasti bisa menjadi penerusnya menjadi imam di Langgar kami, Langgar Seliling. Tapi saat itu aku menolak dan memilih kerja di Jakarta. Hal ini membuat bapak terpukul, satu keinginannya yang sampai hari ini belum bisa kupenuhi yaitu ingin aku bisa khatam Al-Quran...

perjalanan pulang dari Langgar aku bilang pada Denis bahwa ia harus belajar ngaji yang baik, paling tidak melek huruf hijaiyah,rajin beribadah karena ia laki-laki yang kelak akan menjadi imam di keluarga. Aku bangga pada Denis ia satu-satunya anak yang rajin berpuasa dan Sholat lima waktu. Akupun kalah sama dia...jadilah anak yang sholeh Den...dan cepatlah sembuh pak kyai Tarno.

Selasa, 08 Juli 2014

sebuah protes untuk diri


Masih kudengar nyanyian duka seorang bocah yang telah lama ditinggal mati bapaknya, masih kulihat seorang ibu termenung di bawah pohon karet dalam hati menyumpah serapah sebuah lembaga pendidikan yang tak bisa toleransi perihal pembayaran SPP bulanan, dari mulut sang bocah keluar kata menimbulkan  suara serak tercekik mengadu dengan haru, tentang sistem biaya pendidikan di sekolahnya.

konon beberapa minggu lalu ia gagal membawa pulang kartu ujian akhir semester, dari bibirnya kudengar suara lirih memprotes, memprotes pada keadaan yang tak berpihak pada nasibnya.

 Pagi menjelang ujian semester, ia masih protes karena harus membeli selembar kertas bernama kartu ujian sementara Rp.1000 rupiah.Belum lagi setelah tiga hari tak mampu membayar uang SPP bisa-bisa diusir dari ruang ujian.Pulang kerumah dan kembali esok harinya menyeret paksa ibunya yang tengah menyadap karet untuk membuat perjanjian kesanggupan membayar SPP. Setelah di deadline hari dan tanggal ibunya harus bekerja keras,memaksa karet-karet di kebun menetes deras, memaksa kopi-kopi panen sebelum waktunya, memaksa ayam-ayam lekas membesar agar dapat dijual ke pasar untuk membayar SPP. Protes hanyalah protes, protes untuk dirinya sendiri.

Semua bermula pada tahun ajaran baru 2013, saat wajah-wajah siswa smp selamat dari belenggu ujian nasional. Niat tulus sang bocah  hendak menunaikan kewajiban belajar, memberantas kebodohan, menuai hasil belajar di kemudian hari malah terjebak dalam permainan sengit para oknum berseragam keki. Berharap suatu hari nanti ada sekolah gratis bagi siswa yatim dengan otak pas-pasan sepertinya, sekolah gratis tanpa syarat macam-macam.

tak mengerti naik kelas atau tidak dia tahun ini, aku tak melihat raportnya. Yah...dia belum bayar SPP raportpun gagal dibawa pulang.

Love u my nephew

Bulan Penghabisan

Juli... Bulan penghabisan Waktunya keluar dari zona nyaman Kembali mengembara Mengejar cita Mengolah pikir Memelihara sadar Memanusiakan di...