Masih kudengar nyanyian duka seorang bocah yang telah lama ditinggal mati bapaknya, masih kulihat seorang ibu termenung di bawah pohon karet dalam hati menyumpah serapah sebuah lembaga pendidikan yang tak bisa toleransi perihal pembayaran SPP bulanan, dari mulut sang bocah keluar kata menimbulkan suara serak tercekik mengadu dengan haru, tentang sistem biaya pendidikan di sekolahnya.
konon beberapa minggu lalu ia gagal membawa pulang kartu ujian akhir semester, dari bibirnya kudengar suara lirih memprotes, memprotes pada keadaan yang tak berpihak pada nasibnya.
Pagi menjelang ujian semester, ia masih protes karena harus membeli selembar kertas bernama kartu ujian sementara Rp.1000 rupiah.Belum lagi setelah tiga hari tak mampu membayar uang SPP bisa-bisa diusir dari ruang ujian.Pulang kerumah dan kembali esok harinya menyeret paksa ibunya yang tengah menyadap karet untuk membuat perjanjian kesanggupan membayar SPP. Setelah di deadline hari dan tanggal ibunya harus bekerja keras,memaksa karet-karet di kebun menetes deras, memaksa kopi-kopi panen sebelum waktunya, memaksa ayam-ayam lekas membesar agar dapat dijual ke pasar untuk membayar SPP. Protes hanyalah protes, protes untuk dirinya sendiri.
Semua bermula pada tahun ajaran baru 2013, saat wajah-wajah siswa smp selamat dari belenggu ujian nasional. Niat tulus sang bocah hendak menunaikan kewajiban belajar, memberantas kebodohan, menuai hasil belajar di kemudian hari malah terjebak dalam permainan sengit para oknum berseragam keki. Berharap suatu hari nanti ada sekolah gratis bagi siswa yatim dengan otak pas-pasan sepertinya, sekolah gratis tanpa syarat macam-macam.
tak mengerti naik kelas atau tidak dia tahun ini, aku tak melihat raportnya. Yah...dia belum bayar SPP raportpun gagal dibawa pulang.
Love u my nephew
Tidak ada komentar:
Posting Komentar