Kaki pelan menapak, jari-jari
kaki mencengkeram kuat turunan jalan setapak yang licin, satu gulung cincau
membebani punggungku,kain gendongan serasa mau copot. Hujan tak juga mau
berkompromi siang ini,ia terus menurunkan bulir-bulirnya dengan deras, dalam
hati berbicara lirih” duh Gusti,bukanku ingkar terhadap nikmatMu ini tapi kalau
hujan terus bagaimana cincauku bisa dijemur agar cepat kering” .Hampir setiap
hari aku melewati jalan ini,jalanku menjemput rizki yang di sediakan alam.Maka
tidak salah apabila ada kalimat “Hutan adalah paru-paru kehidupan”. Aku Sutimah
petani tanpa lahan milik pribadi,penggarap lahan perhutani. Hutan adalah sumber
kehidupan bagiku dan keluargaku..Hidup sebagai petani Cincau tanpa lahan milik
pribadi adalah bukan pilihan.Mengapa bukan pilihan? Akan kuceritakan padamu
kawan.Ada banyak kecurangan di sekitarku,tapi aku takut angkat bicara. Aku
takut lahanku,sumber kehidupanku di cabut kalau aku angkat bicara,aku tak bisa
membaca,bukan hanya tak bisa membaca tulisan saja,aku juga tak bisa membaca
situasi manusia era ini,manusia yang gila harta,kekuasaan,kehormatan dan jabatan.
Alhamdulillah sampailah aku di
rumah mungilku,kuletakan gulungan cincau yang kugendong di depan teras
rumah, aku bergegas masuk kerumah dan membersihkan diri. " Assalamualaikum,assalamualaikum ”...terdengar uluk salam dari luar
rumah,kubukakan pintu ternyata orang pendek berseragam perhutani lengkap dengan
topi dan sepatu boots. Kaget bukan kepalang di datangi orang berseragam,bagiku
orang berseragam adalah keramat,terhormat lagi berpangkat...sampai-sampai aku
berkeinginan punya menantu berseragam hehee...yah kusapa dengan segala
hormat,dialah Sang mandor Hutan. Ada apa gerangan dia kemari aku belum
tahu,tapi kurasa tak mungkin ia hendak melamarku,aku sudah peot begini rupa, atau barangkali hendak ngunduh mantu? Tak mungkinlah anakku menyukai mertua
berseragam Perhutani.” Mangga lungguh
(silakan duduk) pak,sekedap kula damelaken unjukkan”,aku buatkan kopi khas
pedukuhan seliling,kopi gula jawa. Tak berapa lama aku keluar dari dapur membawa 2 cangkir kopi
untuk si tamu berseragam keramat ini. Kupersilakan ia minum, “mangga unjukane pak”...(silakan
minumannya pak) ”iya mbok maturnuwun,Kiye
kaya kiye mbok inyong perlu mrene jere rika wis panen cincau ping kopang kaping
ora aweh jatah maring kehutanan lha inyong siki arep njaluk jatah”( begini
ibu sudah panen cincau berkali-kali tapi belum memberi jatah pada
perhutani,maksud kedatangan saya kemari adalah mau minta jatah). Jatah apa sih
pak? Tanyaku pada pak mandor. “Jadi begini mbok tiap kali panen cincau, perhutani memungut 30% dari hasil penjualan
cincau yang ditanam di lahan perhutani” pak mandor menjelaskan, “Maksude kepriwe pak? Jajal ngomonge nganggo bahasa penginyongan
bae,ben genahlah,inyong kiye wong endonesa sing ora teyeng ngomong endonesa”(coba dijelaskan apa
maksudnya dalam bahasa banyumasan saja karena saya orang indonesia yang tidak
paham bahasa indonesia) Maklumlah aku dulu tidak pernah mengunyah genteng
sekolah heheh...” dadi kaya kiye mbok
Sutimah,kehutanan ngewajibna para penggarap alas sing nandur cincau kudu
nyetoraken duit hasil cincau maring kehutanan sing jumlahe 30 persen saben
panen. Saben panen ya mbok! Aku kaget,dan berdiri membenarkan tapih takut
mlorot karena syock. “ala biyung aturane
sapa kuwe? Sapa sing gawe aturan? Anu kepriwe bisa unggal panen? Duite nggo apa
nang perhutani?(terjemahkan sendiri ya buka kamus banyumasan heee) “uangnya
kami kami pakai membeli bathok kelapa bagi para penderes getah pinus mbok,gara-gara harga cincau tinggi sebagian
penderes pinus lebih memilih menanam cincau daripada nderes,akibatnya tidak ada
pemasukan kas di perhutani,maka dari itu kami memungut iuran wajib perpanen,yah
tidak harus 30% sih mbok,berapapunlah seikhlasnya” aku jadi berpikir kok
seikhlasnya? Kok tidak tegas dalam memungut? Kok tidak ada pemberitahuan secara
resmi dari dinas kehutanan? Berapa banyak “kok” yang ingin aku tanyakan tetapi
tampaknya si mandor berseragam ini akan menjawab dengan meyakinkan bahwa ia
hanyalah menjalankan tugas perhutani. “Kopine
pak selak adem” ( “kopinya pak keburu dingin”) ia bertanya padaku kapan
akan membayar,aku aku diam berpikir listrik saja belum saya bayar sudah
ketambahan beban lagi...” nggih ngenjang
kula usaha riyin pak” ( saya usahakan dulu pak”) kalaupun ada uang aku tak
mau memberikannya kepada buaya lapar berseragam ini.Menjadi orang
buta huruf bisa saja buta dalam segalanya, tapi tidak untuk kali ini,aku bisa
membaca kelicikan dari balik seragam angker sang mandor.
Tidak ndor,tidak akan saya kasih barang satu rupiahpun. Kami sudah membayar pajak tahunan,sekarang kami juga harus dibebani iuran rutin tiap panen? Ahh ndor ndor...jangan kau bermakmum pada penjilat agung negara ini...
Tidak ndor,tidak akan saya kasih barang satu rupiahpun. Kami sudah membayar pajak tahunan,sekarang kami juga harus dibebani iuran rutin tiap panen? Ahh ndor ndor...jangan kau bermakmum pada penjilat agung negara ini...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar