Senin, 05 Mei 2014

seragam Angker Sang Mandor

Kaki pelan menapak, jari-jari kaki mencengkeram kuat turunan jalan setapak yang licin, satu gulung cincau membebani punggungku,kain gendongan serasa mau copot. Hujan tak juga mau berkompromi siang ini,ia terus menurunkan bulir-bulirnya dengan deras, dalam hati berbicara lirih” duh Gusti,bukanku ingkar terhadap nikmatMu ini tapi kalau hujan terus bagaimana cincauku bisa dijemur agar cepat kering” .Hampir setiap hari aku melewati jalan ini,jalanku menjemput rizki yang di sediakan alam.Maka tidak salah apabila ada kalimat “Hutan adalah paru-paru kehidupan”. Aku Sutimah petani tanpa lahan milik pribadi,penggarap lahan perhutani. Hutan adalah sumber kehidupan bagiku dan keluargaku..Hidup sebagai petani Cincau tanpa lahan milik pribadi adalah bukan pilihan.Mengapa bukan pilihan? Akan kuceritakan padamu kawan.Ada banyak kecurangan di sekitarku,tapi aku takut angkat bicara. Aku takut lahanku,sumber kehidupanku di cabut kalau aku angkat bicara,aku tak bisa membaca,bukan hanya tak bisa membaca tulisan saja,aku juga tak bisa membaca situasi manusia era ini,manusia yang gila harta,kekuasaan,kehormatan dan jabatan.
Alhamdulillah sampailah aku di rumah mungilku,kuletakan gulungan cincau yang kugendong di depan teras rumah, aku bergegas masuk kerumah dan membersihkan diri. " Assalamualaikum,assalamualaikum ”...terdengar uluk salam dari luar rumah,kubukakan pintu ternyata orang pendek berseragam perhutani lengkap dengan topi dan sepatu boots. Kaget bukan kepalang di datangi orang berseragam,bagiku orang berseragam adalah keramat,terhormat lagi berpangkat...sampai-sampai aku berkeinginan punya menantu berseragam hehee...yah kusapa dengan segala hormat,dialah Sang mandor Hutan. Ada apa gerangan dia kemari aku belum tahu,tapi kurasa tak mungkin ia hendak melamarku,aku sudah peot begini rupa, atau barangkali hendak ngunduh mantu? Tak mungkinlah anakku menyukai mertua berseragam Perhutani.” Mangga lungguh (silakan duduk) pak,sekedap kula damelaken unjukkan”,aku buatkan kopi khas pedukuhan seliling,kopi gula jawa. Tak berapa lama aku  keluar dari dapur membawa 2 cangkir kopi untuk si tamu berseragam keramat ini. Kupersilakan ia minum, “mangga unjukane pak”...(silakan minumannya pak) ”iya mbok maturnuwun,Kiye kaya kiye mbok inyong perlu mrene jere rika wis panen cincau ping kopang kaping ora aweh jatah maring kehutanan lha inyong siki arep njaluk jatah”( begini ibu sudah panen cincau berkali-kali tapi belum memberi jatah pada perhutani,maksud kedatangan saya kemari adalah mau minta jatah). Jatah apa sih pak? Tanyaku pada pak mandor. “Jadi begini mbok tiap kali panen cincau,  perhutani memungut 30% dari hasil penjualan cincau yang ditanam di lahan perhutani” pak mandor menjelaskan, “Maksude kepriwe pak? Jajal ngomonge nganggo bahasa penginyongan bae,ben genahlah,inyong kiye wong endonesa sing ora teyeng ngomong endonesa”(coba dijelaskan apa maksudnya dalam bahasa banyumasan saja karena saya orang indonesia yang tidak paham bahasa indonesia) Maklumlah aku dulu tidak pernah mengunyah genteng sekolah heheh...” dadi kaya kiye mbok Sutimah,kehutanan ngewajibna para penggarap alas sing nandur cincau kudu nyetoraken duit hasil cincau maring kehutanan sing jumlahe 30 persen saben panen. Saben panen ya mbok! Aku kaget,dan berdiri membenarkan tapih takut mlorot karena syock. “ala biyung aturane sapa kuwe? Sapa sing gawe aturan? Anu kepriwe bisa unggal panen? Duite nggo apa nang perhutani?(terjemahkan sendiri ya buka kamus banyumasan heee) “uangnya kami kami pakai membeli bathok kelapa bagi para penderes getah pinus  mbok,gara-gara harga cincau tinggi sebagian penderes pinus lebih memilih menanam cincau daripada nderes,akibatnya tidak ada pemasukan kas di perhutani,maka dari itu kami memungut iuran wajib perpanen,yah tidak harus 30% sih mbok,berapapunlah seikhlasnya” aku jadi berpikir kok seikhlasnya? Kok tidak tegas dalam memungut? Kok tidak ada pemberitahuan secara resmi dari dinas kehutanan? Berapa banyak “kok” yang ingin aku tanyakan tetapi tampaknya si mandor berseragam ini akan menjawab dengan meyakinkan bahwa ia hanyalah menjalankan tugas perhutani. “Kopine pak selak adem” ( “kopinya pak keburu dingin”) ia bertanya padaku kapan akan membayar,aku aku diam berpikir listrik saja belum saya bayar sudah ketambahan beban lagi...” nggih ngenjang kula usaha riyin pak” ( saya usahakan dulu pak”) kalaupun ada uang aku tak mau memberikannya kepada buaya lapar berseragam ini.Menjadi orang buta huruf bisa saja buta dalam segalanya, tapi tidak untuk kali ini,aku bisa membaca kelicikan dari balik seragam angker sang mandor.
Tidak ndor,tidak akan saya kasih barang satu rupiahpun. Kami sudah membayar pajak tahunan,sekarang kami juga harus dibebani iuran rutin tiap panen? Ahh ndor ndor...jangan kau bermakmum pada penjilat agung negara ini...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bulan Penghabisan

Juli... Bulan penghabisan Waktunya keluar dari zona nyaman Kembali mengembara Mengejar cita Mengolah pikir Memelihara sadar Memanusiakan di...