Aku lahir
di sebuah desa terpencil di kecamatan Karangmoncol Purbalingga pada tahun 1993,
dari seorang ibu bernama Sutimah istri tercantik dari seorang ayah setampan arjuna bernama
Abdul Latif ini memiliki cerita unik tersendiri. Yah....dua tahun kepergian ayah
tampanku untuk selama-lamanya membuat ibuku Sutimah kangen rupanya. siang tadi
aku dan ibuku berbagi kisah proses kelahiranku yang dibantu oleh seorang dukun
bernama Mbah Kadini Rejasari.
Petang menjelang
maghrib Sutimah dengan perutnya yang buncit bermaksud membeli minyak tanah ke
warung mbok Juwariyah dengan botol kecap yang umum disebut Gendul oleh masyarakat grumbul seliling, keberadaan minyak tanah
amat penting untuk menyalakan lampu minyak atau biasa disebut Damar Senthir sebagai penerangan rumah
karena saat itu listrik belum masuk di grumbul kami. Untuk menuju warung harus
menempuh jarak 1 kilometer berjalan kaki melewati hutan bernama Talun Kanthil.
Jarak 1 kilometer mungkin terasa ringan bagi orang yang tidak berbadan dua
sepertinya, memasuki bulan kesepuluh kehamilannya ia masih saja harus
bolak-balik warung untuk membeli aneka keperluan rumah tangga. Hidup di desa
terpencil dibawah bukit seliling karangmoncol Purbalingga memang sulit
bagaimana tidak untuk berbelanja sayur, ikan asin dan minyak tanah harus ke
warung Juwariyah yang letaknya cukup jauh bagi seorang ibu hamil. Juwariyah
memonopoli warung itulah sebabnya ia kaya raya ia dan suaminyapun sudah naik
haji.
Setelah menempuh
jarak yang cukup melelahkan itu sampailah Sutimah di warung mbok Hajah Jua dan
dibelilah segendul minyak tanah seharga 450 rupiah. Kembali ia harus melewati
Talun Kanthil untuk pulang ke rumah.
Adzan magrib tak
terdengar di Talun Kanthil suara serak khas sang muadzin bernama Amin dari
mushola Seliling tak terdengar sampai ke telinga yah tak ada Toa masjid karena sekali lagi
tidak ada listrik, hanya suara bedug dan kenthong saja yang terdengar.
Oke maka sampailah
Sutimah di depan gubuk bambu beratapkan alang-alang, suasana gelap, mungkin
saat itu aku mengintip dari balik daster ibuku dan menggerutu bahwa aku benci
gelap aku tidak mau keluar dari perut walaupun aku sudah bersarang sepuluh
bulan. Gendul berisi minyak tanah
dituangakan ke damar senthir dan
dengan jilatan si korek api lampu asli buatan anak negeri ini berhasil dinyalakan.
Seluruh ruangan terang remang oleh sinar damar senthir. Dapur masih ngebul asap
membuat kabur pandangan sekitar ruangan artinya Ganyong dan Angkrik belum
matang direbus padahal perut sudah lapar, walaupun buncit tapi ada sisi kosong
yang butuh disumpal Ganyong. Bapakku Abdul Latif masih terjaga di sudut ruangan
terlihat ia sedang bertasbih usai sholat maghrib. Karena dorongan rasa laparnya
Sutimah nekad mengambil Ganyong rebus yang masih setengah matang itu untuk
dimakan.Belum sampai 15 menit ia kejang-kejang....Bapak panik mengira ibuku
keracunan Ganyong. Bapak pontang panting, nabuh kenthong yang tergantung di
depan rumah. Setelah kenthong ditabuh datanglah mbekayu cilik dan kang Jahudi
tetangga rumah.Diketahui ibuku pecah ketuban....maka tanpa menunggu komando
dari siapapun bapak langsung lari kerumah mbah Kadini Rejasari seorang dukun
bayi. Dukun bayi yaitu seorang yang dalam aktivitasnya, menolong proses
persalinan seseorang, merawat bayi mulai dari memandikan, menggendong,
belajar berkomunikasi, menindik bayi dan memijat ibu dan bayi sampai 40 hari. Sebagai
dukun bayi biasanya juga selain dilengkapi dengan keahlian atau skill, juga
dibantu dengan berbagai mantra
khusus yang dipelajarinya dari pendahulu mereka.
Proses pendampingan tersebut berjalan sampai dengan bayi berumur 2 tahunan.
Tetapi, pendampingan yang sifatnya rutin sekitar 7 - 10 hari pasca melahirkan.
Mbah kadini mewarisi trah perdukunan bayi dari moyangnya yang bernama Karya
Sentana yang meninggal akibat keracunan jengkol bakar. Tidak ada pendidikan
dukun kala itu ia hanya diberi jimat dan mantra-mantra, keahlian menjadi dukun
muncul dengan sendirinya, tangannya piawai mengurut ibu hamil, memijat bayi bahkan
konon ia bisa membenarkan posisi bayi yang sungsang agar proses kelahiran lebih
mudah.
Keberadaan dukun bayi
di grumbulku amat sangat penting mengingat tidak ada bidan terdekat untuk
menolong proses persalinan saat itu, ditambah maraknya usia pernikahan dini dan
tidak adanya program KB yang otomatis menambah angka beranak pinak di Grumbul.
Mbah Kadini adalah pahlawan yang teramat berjasa tidak hanya bagi ibuku tapi bagi
ibu-ibu bersalin pasiennya. Sebagai dukun bayi yang sudah menjalani profesinya
selama lebih dari 37 tahun menolong berbagai kasus kelahiran bayi sudah biasa,
sebagai contoh kelahiran bayi kembar, kelahiran bayi sungsang atau kaki keluar
terlebih dahulu, ada juga yang sampai meninggal karena tidak kuat mengejan dll.
Mbah Kadini adalah sosok yang ikhlas menolong tidak mematok tarif khusus bagi
pemakai jasanya. Kata ibuku mbah kadini hanya diberi uang Rp 7500 dan seekor ayam
jago. bisa dibayangkan melahirkan bayi pada tahun 1993 tidak mudah seperti
sekarang dengan banyaknya bidan-bidan profesional angka kematian ibu pun
berkurang.
Yang menarik dari
proses kelahiranku adalah saat bapak menjemput mbah Kadini untuk menolong
persalinan ibu tiba-tiba ditengah jalan setapak kebun Pandan ada seekor macan
kumbang yang sepanjang jalan membuntuti bapak menuju rumah mbah Kadini.kemudian
macan kumbang itu seakan mengawal bapak dan mbah Kadini kembali menuju rumahku. Bapak heran mengapa
ada kejadian aneh semacam ini. Mbah Kadini hanya bilang “ Dul Kiye Sing dadi pamomong anakmu” Dul ini adalah yang menjadi pamomong anakmu. Tepat jam 03.18 menit
tangisku pecah membahana....Kini mbah Kadini Rejasari telah tiada dan praktek perdukunannya digantikan oleh adiknya Kadinah Rejasari. Semoga damai sejahtera
dalam alam baka mbah....
Maturnuwun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar