Rabu, 25 Juni 2014

Mbah dukun Kadini Rejasari

Aku lahir di sebuah desa terpencil di kecamatan Karangmoncol Purbalingga pada tahun 1993, dari seorang ibu bernama Sutimah istri tercantik dari seorang ayah setampan arjuna bernama Abdul Latif ini memiliki cerita unik tersendiri. Yah....dua tahun kepergian ayah tampanku untuk selama-lamanya membuat ibuku Sutimah kangen rupanya. siang tadi aku dan ibuku berbagi kisah proses kelahiranku yang dibantu oleh seorang dukun bernama Mbah Kadini Rejasari.

Rebo Wage 14 November 1993
Petang menjelang maghrib Sutimah dengan perutnya yang buncit bermaksud membeli minyak tanah ke warung mbok Juwariyah dengan botol kecap yang umum disebut Gendul oleh masyarakat grumbul seliling, keberadaan minyak tanah amat penting untuk menyalakan lampu minyak atau biasa disebut Damar Senthir sebagai penerangan rumah karena saat itu listrik belum masuk di grumbul kami. Untuk menuju warung harus menempuh jarak 1 kilometer berjalan kaki melewati hutan bernama Talun Kanthil. Jarak 1 kilometer mungkin terasa ringan bagi orang yang tidak berbadan dua sepertinya, memasuki bulan kesepuluh kehamilannya ia masih saja harus bolak-balik warung untuk membeli aneka keperluan rumah tangga. Hidup di desa terpencil dibawah bukit seliling karangmoncol Purbalingga memang sulit bagaimana tidak untuk berbelanja sayur, ikan asin dan minyak tanah harus ke warung Juwariyah yang letaknya cukup jauh bagi seorang ibu hamil. Juwariyah memonopoli warung itulah sebabnya ia kaya raya ia dan suaminyapun sudah naik haji.

Setelah menempuh jarak yang cukup melelahkan itu sampailah Sutimah di warung mbok Hajah Jua dan dibelilah segendul minyak tanah seharga 450 rupiah. Kembali ia harus melewati Talun Kanthil untuk pulang ke rumah.
Adzan magrib tak terdengar di Talun Kanthil suara serak khas sang muadzin bernama Amin dari mushola Seliling tak terdengar sampai ke telinga  yah tak ada Toa masjid karena sekali lagi tidak ada listrik, hanya suara bedug dan kenthong saja yang terdengar.

Oke maka sampailah Sutimah di depan gubuk bambu beratapkan alang-alang, suasana gelap, mungkin saat itu aku mengintip dari balik daster ibuku dan menggerutu bahwa aku benci gelap aku tidak mau keluar dari perut walaupun aku sudah bersarang sepuluh bulan. Gendul berisi minyak tanah dituangakan ke damar senthir dan dengan jilatan si korek api lampu asli buatan anak negeri ini berhasil dinyalakan. Seluruh ruangan terang remang oleh sinar damar senthir. Dapur masih ngebul asap membuat kabur pandangan sekitar ruangan artinya Ganyong dan Angkrik belum matang direbus padahal perut sudah lapar, walaupun buncit tapi ada sisi kosong yang butuh disumpal Ganyong. Bapakku Abdul Latif masih terjaga di sudut ruangan terlihat ia sedang bertasbih usai sholat maghrib. Karena dorongan rasa laparnya Sutimah nekad mengambil Ganyong rebus yang masih setengah matang itu untuk dimakan.Belum sampai 15 menit ia kejang-kejang....Bapak panik mengira ibuku keracunan Ganyong. Bapak pontang panting, nabuh kenthong yang tergantung di depan rumah. Setelah kenthong ditabuh datanglah mbekayu cilik dan kang Jahudi tetangga rumah.Diketahui ibuku pecah ketuban....maka tanpa menunggu komando dari siapapun bapak langsung lari kerumah mbah Kadini Rejasari seorang dukun bayi. Dukun bayi yaitu seorang yang dalam aktivitasnya, menolong proses persalinan seseorang, merawat bayi mulai dari memandikan, menggendong, belajar berkomunikasi, menindik bayi dan memijat ibu dan bayi sampai 40 hari. Sebagai dukun bayi biasanya juga selain dilengkapi dengan keahlian atau skill, juga dibantu dengan berbagai mantra khusus yang dipelajarinya dari pendahulu mereka. Proses pendampingan tersebut berjalan sampai dengan bayi berumur 2 tahunan. Tetapi, pendampingan yang sifatnya rutin sekitar 7 - 10 hari pasca melahirkan. Mbah kadini mewarisi trah perdukunan bayi dari moyangnya yang bernama Karya Sentana yang meninggal akibat keracunan jengkol bakar. Tidak ada pendidikan dukun kala itu ia hanya diberi jimat dan mantra-mantra, keahlian menjadi dukun muncul dengan sendirinya, tangannya piawai mengurut ibu hamil, memijat bayi bahkan konon ia bisa membenarkan posisi bayi yang sungsang agar proses kelahiran lebih mudah.
Keberadaan dukun bayi di grumbulku amat sangat penting mengingat tidak ada bidan terdekat untuk menolong proses persalinan saat itu, ditambah maraknya usia pernikahan dini dan tidak adanya program KB yang otomatis menambah angka beranak pinak di Grumbul.

Mbah Kadini adalah pahlawan yang teramat berjasa tidak hanya bagi ibuku tapi bagi ibu-ibu bersalin pasiennya. Sebagai dukun bayi yang sudah menjalani profesinya selama lebih dari 37 tahun menolong berbagai kasus kelahiran bayi sudah biasa, sebagai contoh kelahiran bayi kembar, kelahiran bayi sungsang atau kaki keluar terlebih dahulu, ada juga yang sampai meninggal karena tidak kuat mengejan dll. Mbah Kadini adalah sosok yang ikhlas menolong tidak mematok tarif khusus bagi pemakai jasanya. Kata ibuku mbah kadini hanya diberi uang Rp 7500 dan seekor ayam jago. bisa dibayangkan melahirkan bayi pada tahun 1993 tidak mudah seperti sekarang dengan banyaknya bidan-bidan profesional angka kematian ibu pun berkurang.

Yang menarik dari proses kelahiranku adalah saat bapak menjemput mbah Kadini untuk menolong persalinan ibu tiba-tiba ditengah jalan setapak kebun Pandan ada seekor macan kumbang yang sepanjang jalan membuntuti bapak menuju rumah mbah Kadini.kemudian macan kumbang itu seakan mengawal bapak dan mbah Kadini  kembali menuju rumahku. Bapak heran mengapa ada kejadian aneh semacam ini. Mbah Kadini hanya bilang “ Dul Kiye Sing dadi pamomong anakmu” Dul ini adalah yang menjadi pamomong anakmu. Tepat jam 03.18 menit tangisku pecah membahana....Kini mbah Kadini Rejasari telah tiada dan praktek perdukunannya digantikan oleh adiknya Kadinah Rejasari. Semoga damai sejahtera dalam alam baka mbah....


Maturnuwun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bulan Penghabisan

Juli... Bulan penghabisan Waktunya keluar dari zona nyaman Kembali mengembara Mengejar cita Mengolah pikir Memelihara sadar Memanusiakan di...